Sabtu, 21 Juni 2014

Pancasila Janganlah Diabaikan

oleh : Rikard Bangun

Sampai sekarang belum terlihat jelas upaya mewujudkan nilai sila-sila Pancasila secara sungguh-sungguh. Tidak pernah sepenuh hati dilaksanakan secara konkret.

Jangankan dilaksanakan dengan kesungguhan, keinginan membicarakannya saja cenderung ogah-ogahan belakangan ini. Sudah mati angin. Pancasila terkesan seperti ditelantarkan.

Sebaliknya, godaan menggantikannya sebagai ideologi negara tidak pernah surut meski tidak selalu terbuka. Upaya diam-diam, pelan-pelan, dan terselubung lebih berbahaya ketimbang terbuka karena lazimnya sulit diantisipasi.

Godaan menggantikannya dengan ideologi lain, ditambah ketidakseriusan mewujudkannya, membuat posisi Pancasila sebagai dasar negara benar-benar terjepit dan lesu darah.

Lebih memprihatinkan lagi dan sungguh tidak adil jika Pancasila sampai dijadikan kambing hitam atas segala kemacetan dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan keamanan selama ini.

Segala kegagalan mewujudkan Indonesia yang sejahtera dan berkeadilan antara lain karena tidak ada kesungguhan mewujudkan pembangunan yang mengacu pada nilai-nilai visioner Pancasila.

Upaya perwujudan nilai-nilai Pancasila selama ini terkesan setengah hati. Tidak banyak yang peduli jika Pancasila diganggu oleh ideologi lain. Lemahnya dukungan juga terlihat pada wacana tentang Pancasila yang cenderung melemah.

Kalaupun Pancasila dibahas, semakin dilakukan jauh di pinggiran, dalam ruang-ruang sempit dan pengap, jauh dari pesona dan sensasi panggung, yang memang dibajak oleh para petualang politik yang hidup dari oportunis harian.

Tidak ada kegairahan tinggi yang mampu mengartikulasikan Pancasila terus-menerus agar semakin berakar kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa banyak disadari, penghayatan dan pengamalan Pancasila menjadi kedodoran.

Semakin terasa kegamangan dan kehampaan mendalam, the existential vacuum, jika Pancasila dibiarkan merana. Sungguh dikhawatirkan kemungkinan masuk angin, apalagi badai, ke dalam ruang hampa itu yang dapat memorak-porandakan Pancasila sebagai rumah bersama Indonesia.

Fungsi Integratif
Sadar atau tidak, Pancasila memiliki fungsi integratif yang menjamin kesatuan negara-bangsa Indonesia yang pluralistik. Taruhannya tidaklah kecil jika Pancasila dilecehkan, lebih-lebih karena posisinya sebagai dasar eksistensi negara Proklamasi 17 Agustus 1945.

Tidaklah berlebihan jika Pancasila menjadi salah satu kekaguman dunia luar terhadap Indonesia karena memiliki fungsi menyatukan masyarakat dan wilayah Nusantara yang begitu luas, dengan berbagai latar belakang suku, budaya, bahasa, dan agama.

Perlu diakui, Pancasila merupakan warisan luar biasa Pendiri Bangsa yang mengacu pada nilai-nilai luhur, yang bersifat orisinal dan tahan zaman. Sungguh warisan nilai yang sangat berharga.

Namun, sekali lagi, upaya mewujudkan nilai sila-sila Pancasila itu terasa sangat lemah. Dampaknya dalam kehidupan sehari-hari belum terasa kuat, yang bisa saja membuat orang puas atau tidak puas.

Namun, bukanlah soal puas atau tidak puas ketika ada upaya menyingkirkan Pancasila dengan ideologi lain. Upaya itu jelas-jelas mengancam keberlangsungan negara-bangsa Indonesia yang eksistensinya berada di atas basis Pancasila.

Tidak kalah rumitnya tantangan yang bersifat sosiologis. Sampai sekarang masih terdapat kerancuan soal pemahaman dan penghayatan tentang keindonesiaan. Tidak sedikit anggota masyarakat belum menempatkan dirinya sebagai warga negara (citizen), yang harus tunduk kepada ideologi (Pancasila) dan konstitusi. Masih banyak pula yang mencampuradukkan pengertian warga negara dengan posisi sebagai anggota kelompok etnik, budaya, bahasa, dan agama. Sebagai dampaknya, bukannya tunduk kepada Pancasila dan konstitusi negara, tetapi justru menggugatnya.

Eksistensi negara-bangsa Indonesia yang pluralistik terancam tamat jika dasar negara dan konstitusi tidak dijadikan ukuran dan acuan dalam berpikir serta berperilaku sebagai warga negara.

Sudah menjadi tugas semua anggota masyarakat, terutama pemerintah, untuk memberikan kawalan terhadap dasar negara dan konstitusi. Pemerintah bahkan memiliki wewenang istimewa untuk menindak warga yang tidak tunduk kepada dasar negara dan konstitusi.

Tidak dapat dibiarkan upaya mengutak-atik ideologi yang melelahkan dan hanya akan membuang banyak energi, mengacaukan konsentrasi bagi proses pembangunan dan perubahan. Bangsa Indonesia akan tertinggal jauh di belakang jika tidak membulatkan tekad memacu kemajuan seperti dilakukan banyak bangsa belakangan ini. Pembangunan merupakan upaya menciptakan kesejahteraan sesuai dengan amanat Pancasila, konstitusi, dan Proklamasi 17 Agustus 1945. Merdeka!

Refleksi Hari Proklamasi

oleh : Jakob Oetama

"Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah pada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesianke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur."

Itulah alinea kedua Pembukaan atau Preambul Undang-Undang Dasar 1945. Bacalah preambul itu selanjutnya sampai lengkap. Luar biasa isinya dan sangat historis. Artinya penuh makna dan keramat!

Teramanatkan, berkat rahmat Allah, didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berperikehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Maka, dibentuk suatu pemerintahan yang melindungi segenap bangsa Indonesia, seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia.

Kemerdekaan dan kebangsaan Indonesia itu disusun dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Deklarasi kemerdekaan dan Pembukaan UUD 1945 kemudian terurai dalam pasal-pasal dalam konstitusi. Di antaranya perihal kesejahteraan sosial yang dirumuskan dalam Pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi : (1) "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan, (2) Cabang-cabang produksi penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". Satu pasal lagi kita kutip dalam Pasal 34 UUD 1945, "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara negara".

Tanggal 17 Agustus 2010 adalah hari Proklamasi Kemerdekaan Ke-65. Terasa ada suasana lain yang kita alami tatkala kita membaca kembali naskah Pembukaan UUD serta uraiannya dalam beberapa pasal konstitusi tersebut. Ada perasaan terharu, bergetar, bersyukur, ataupun menggugat.

Falsafah kenegaraan dan kemasyarakatan karya para pendiri bangsa dan negara kita itu amatalah bersejarah dan historis. Bersejarah sebagai peristiwa dan bersejarah pula dalam maknanya. Bagi kita makna itu sekaligus ide besar, cita-cita agung dengan tujuan yang riil. Ada ungkapan dalam bahasa Perancis, ide dan cita-cita besar lagi bersejarah semacam itu merupakan, l' idee pousse a l acte. Ide dan cita-cita besar yang harus diwujudkan dalam kenyataan.

Dan memang benar, itulah yang kita pahami serta kita rasakan dewasa ini. Getaran, keharuan, dan refleksi ide besar dengan kenyataannya, berbagai persoalan yang kita hadapi dan kenyataan sehari-hari. Kenyataan yang menyangkut realisasi dari cita-cita mulia, tujuan kemerdekaan, serta sikap dan penghayatan pengorbanan pada pemimpin serta pejuang kemerdekaan.

Pendekatan kita tentunya bukan saling menyalahkan dan lempar tanggung jawab. Kita dengan sikap kritis-konstruktif mengakui kekurangan, kealpaan, serta kelemahan kita pada posisi masing-masing serta pada posisi bersama, yakni mewujudkan amanah serta tujuan Indonesia merdeka. Terutama dalam konteksnya yang mendesak, yakni kemakmuran rakyat dalam kerangka keadilan sosial serta kemajuan bangsa dan negara dalam konteks regional, global, dan mondial.

Kita bersama dihadapkan pada berbagai masalah, kekurangan, dan tantangan. Di antaranya yang strategis dan mencolok adalah kultur kekuasaan yang tidak bersih, apalagi asketis, seperti contoh teladan para pendiri dan pejuang bangsa. Totalitas kita dalam bekerja untuk mengabdi bangsa terasa mulai mengendur. Berdasarkan laporan serta studi lapangan, kita justru masih tetap berkubang dalam kecenderungan dari praktik penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan alias korupsi!

Pengawasan hukum dan budaya demokrasi politik kita belum berhasil menghapuskan budaya feodal kita dari kekuasaan. Praktik itu diantaranya menurut penelitian dan pemantauan berbagai pemantau korupsi Indonesia, termasuk Indonesia Corruption Watch, praktis korupsi justru makin meluas ke daerah-daerah. Komitmen dari pimpinan nasional memberantas korupsi pada masa kampanye ternyata masih belum mampu menciptakan sebuah Indonesia yang bersih. Korupsi adalah perang yang belum berhasil kita menangi. Banyaknya uang negara yang dikorupsi jelas akan menghambat kerja kita membangun bangsa dan mewujudkan keadilan sosial.

Pada sisi lain, pemahaman dan praksis demokrasi kita baru sampai pada tahap bentuk, praktik, dan sistemnya yang formal. Demokrasi baru pada tahap prosedural, belumlah substansial. Nilai demokrasi masih harus dikembangkan dalam sikap dan pengalaman. Esensi makna demokrasi harus dipahami dan dipraktikkan dalam praksis kehidupan sehari-hari. Ada dimensi dan tuntutan pengorbanan bagi kepentingan rakyat banyak di sana.

Jumlah warga miskin versi Indonesia tercatat sebanyak 21 juta orang, suburnya praktik penyalahgunaan kekuasaan mengusik, masih adanya pengangguran atas kebebasan konstitusional, menggugah kenikmatan kita merayakan ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan ke-65. Itulah tantangan kita bersama. Itulah tanggung jawab kita bersama. Itulah komitmen kita bersama.