Sabtu, 21 Juni 2014

Pancasila Janganlah Diabaikan

oleh : Rikard Bangun

Sampai sekarang belum terlihat jelas upaya mewujudkan nilai sila-sila Pancasila secara sungguh-sungguh. Tidak pernah sepenuh hati dilaksanakan secara konkret.

Jangankan dilaksanakan dengan kesungguhan, keinginan membicarakannya saja cenderung ogah-ogahan belakangan ini. Sudah mati angin. Pancasila terkesan seperti ditelantarkan.

Sebaliknya, godaan menggantikannya sebagai ideologi negara tidak pernah surut meski tidak selalu terbuka. Upaya diam-diam, pelan-pelan, dan terselubung lebih berbahaya ketimbang terbuka karena lazimnya sulit diantisipasi.

Godaan menggantikannya dengan ideologi lain, ditambah ketidakseriusan mewujudkannya, membuat posisi Pancasila sebagai dasar negara benar-benar terjepit dan lesu darah.

Lebih memprihatinkan lagi dan sungguh tidak adil jika Pancasila sampai dijadikan kambing hitam atas segala kemacetan dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan keamanan selama ini.

Segala kegagalan mewujudkan Indonesia yang sejahtera dan berkeadilan antara lain karena tidak ada kesungguhan mewujudkan pembangunan yang mengacu pada nilai-nilai visioner Pancasila.

Upaya perwujudan nilai-nilai Pancasila selama ini terkesan setengah hati. Tidak banyak yang peduli jika Pancasila diganggu oleh ideologi lain. Lemahnya dukungan juga terlihat pada wacana tentang Pancasila yang cenderung melemah.

Kalaupun Pancasila dibahas, semakin dilakukan jauh di pinggiran, dalam ruang-ruang sempit dan pengap, jauh dari pesona dan sensasi panggung, yang memang dibajak oleh para petualang politik yang hidup dari oportunis harian.

Tidak ada kegairahan tinggi yang mampu mengartikulasikan Pancasila terus-menerus agar semakin berakar kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa banyak disadari, penghayatan dan pengamalan Pancasila menjadi kedodoran.

Semakin terasa kegamangan dan kehampaan mendalam, the existential vacuum, jika Pancasila dibiarkan merana. Sungguh dikhawatirkan kemungkinan masuk angin, apalagi badai, ke dalam ruang hampa itu yang dapat memorak-porandakan Pancasila sebagai rumah bersama Indonesia.

Fungsi Integratif
Sadar atau tidak, Pancasila memiliki fungsi integratif yang menjamin kesatuan negara-bangsa Indonesia yang pluralistik. Taruhannya tidaklah kecil jika Pancasila dilecehkan, lebih-lebih karena posisinya sebagai dasar eksistensi negara Proklamasi 17 Agustus 1945.

Tidaklah berlebihan jika Pancasila menjadi salah satu kekaguman dunia luar terhadap Indonesia karena memiliki fungsi menyatukan masyarakat dan wilayah Nusantara yang begitu luas, dengan berbagai latar belakang suku, budaya, bahasa, dan agama.

Perlu diakui, Pancasila merupakan warisan luar biasa Pendiri Bangsa yang mengacu pada nilai-nilai luhur, yang bersifat orisinal dan tahan zaman. Sungguh warisan nilai yang sangat berharga.

Namun, sekali lagi, upaya mewujudkan nilai sila-sila Pancasila itu terasa sangat lemah. Dampaknya dalam kehidupan sehari-hari belum terasa kuat, yang bisa saja membuat orang puas atau tidak puas.

Namun, bukanlah soal puas atau tidak puas ketika ada upaya menyingkirkan Pancasila dengan ideologi lain. Upaya itu jelas-jelas mengancam keberlangsungan negara-bangsa Indonesia yang eksistensinya berada di atas basis Pancasila.

Tidak kalah rumitnya tantangan yang bersifat sosiologis. Sampai sekarang masih terdapat kerancuan soal pemahaman dan penghayatan tentang keindonesiaan. Tidak sedikit anggota masyarakat belum menempatkan dirinya sebagai warga negara (citizen), yang harus tunduk kepada ideologi (Pancasila) dan konstitusi. Masih banyak pula yang mencampuradukkan pengertian warga negara dengan posisi sebagai anggota kelompok etnik, budaya, bahasa, dan agama. Sebagai dampaknya, bukannya tunduk kepada Pancasila dan konstitusi negara, tetapi justru menggugatnya.

Eksistensi negara-bangsa Indonesia yang pluralistik terancam tamat jika dasar negara dan konstitusi tidak dijadikan ukuran dan acuan dalam berpikir serta berperilaku sebagai warga negara.

Sudah menjadi tugas semua anggota masyarakat, terutama pemerintah, untuk memberikan kawalan terhadap dasar negara dan konstitusi. Pemerintah bahkan memiliki wewenang istimewa untuk menindak warga yang tidak tunduk kepada dasar negara dan konstitusi.

Tidak dapat dibiarkan upaya mengutak-atik ideologi yang melelahkan dan hanya akan membuang banyak energi, mengacaukan konsentrasi bagi proses pembangunan dan perubahan. Bangsa Indonesia akan tertinggal jauh di belakang jika tidak membulatkan tekad memacu kemajuan seperti dilakukan banyak bangsa belakangan ini. Pembangunan merupakan upaya menciptakan kesejahteraan sesuai dengan amanat Pancasila, konstitusi, dan Proklamasi 17 Agustus 1945. Merdeka!

Refleksi Hari Proklamasi

oleh : Jakob Oetama

"Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah pada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesianke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur."

Itulah alinea kedua Pembukaan atau Preambul Undang-Undang Dasar 1945. Bacalah preambul itu selanjutnya sampai lengkap. Luar biasa isinya dan sangat historis. Artinya penuh makna dan keramat!

Teramanatkan, berkat rahmat Allah, didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berperikehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Maka, dibentuk suatu pemerintahan yang melindungi segenap bangsa Indonesia, seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia.

Kemerdekaan dan kebangsaan Indonesia itu disusun dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Deklarasi kemerdekaan dan Pembukaan UUD 1945 kemudian terurai dalam pasal-pasal dalam konstitusi. Di antaranya perihal kesejahteraan sosial yang dirumuskan dalam Pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi : (1) "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan, (2) Cabang-cabang produksi penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". Satu pasal lagi kita kutip dalam Pasal 34 UUD 1945, "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara negara".

Tanggal 17 Agustus 2010 adalah hari Proklamasi Kemerdekaan Ke-65. Terasa ada suasana lain yang kita alami tatkala kita membaca kembali naskah Pembukaan UUD serta uraiannya dalam beberapa pasal konstitusi tersebut. Ada perasaan terharu, bergetar, bersyukur, ataupun menggugat.

Falsafah kenegaraan dan kemasyarakatan karya para pendiri bangsa dan negara kita itu amatalah bersejarah dan historis. Bersejarah sebagai peristiwa dan bersejarah pula dalam maknanya. Bagi kita makna itu sekaligus ide besar, cita-cita agung dengan tujuan yang riil. Ada ungkapan dalam bahasa Perancis, ide dan cita-cita besar lagi bersejarah semacam itu merupakan, l' idee pousse a l acte. Ide dan cita-cita besar yang harus diwujudkan dalam kenyataan.

Dan memang benar, itulah yang kita pahami serta kita rasakan dewasa ini. Getaran, keharuan, dan refleksi ide besar dengan kenyataannya, berbagai persoalan yang kita hadapi dan kenyataan sehari-hari. Kenyataan yang menyangkut realisasi dari cita-cita mulia, tujuan kemerdekaan, serta sikap dan penghayatan pengorbanan pada pemimpin serta pejuang kemerdekaan.

Pendekatan kita tentunya bukan saling menyalahkan dan lempar tanggung jawab. Kita dengan sikap kritis-konstruktif mengakui kekurangan, kealpaan, serta kelemahan kita pada posisi masing-masing serta pada posisi bersama, yakni mewujudkan amanah serta tujuan Indonesia merdeka. Terutama dalam konteksnya yang mendesak, yakni kemakmuran rakyat dalam kerangka keadilan sosial serta kemajuan bangsa dan negara dalam konteks regional, global, dan mondial.

Kita bersama dihadapkan pada berbagai masalah, kekurangan, dan tantangan. Di antaranya yang strategis dan mencolok adalah kultur kekuasaan yang tidak bersih, apalagi asketis, seperti contoh teladan para pendiri dan pejuang bangsa. Totalitas kita dalam bekerja untuk mengabdi bangsa terasa mulai mengendur. Berdasarkan laporan serta studi lapangan, kita justru masih tetap berkubang dalam kecenderungan dari praktik penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan alias korupsi!

Pengawasan hukum dan budaya demokrasi politik kita belum berhasil menghapuskan budaya feodal kita dari kekuasaan. Praktik itu diantaranya menurut penelitian dan pemantauan berbagai pemantau korupsi Indonesia, termasuk Indonesia Corruption Watch, praktis korupsi justru makin meluas ke daerah-daerah. Komitmen dari pimpinan nasional memberantas korupsi pada masa kampanye ternyata masih belum mampu menciptakan sebuah Indonesia yang bersih. Korupsi adalah perang yang belum berhasil kita menangi. Banyaknya uang negara yang dikorupsi jelas akan menghambat kerja kita membangun bangsa dan mewujudkan keadilan sosial.

Pada sisi lain, pemahaman dan praksis demokrasi kita baru sampai pada tahap bentuk, praktik, dan sistemnya yang formal. Demokrasi baru pada tahap prosedural, belumlah substansial. Nilai demokrasi masih harus dikembangkan dalam sikap dan pengalaman. Esensi makna demokrasi harus dipahami dan dipraktikkan dalam praksis kehidupan sehari-hari. Ada dimensi dan tuntutan pengorbanan bagi kepentingan rakyat banyak di sana.

Jumlah warga miskin versi Indonesia tercatat sebanyak 21 juta orang, suburnya praktik penyalahgunaan kekuasaan mengusik, masih adanya pengangguran atas kebebasan konstitusional, menggugah kenikmatan kita merayakan ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan ke-65. Itulah tantangan kita bersama. Itulah tanggung jawab kita bersama. Itulah komitmen kita bersama.

Kamis, 10 April 2014

Surga Walini

Dipeluk oleh kedamaian kebun teh
Memadamkan sejenak api yang membakar hati
Jiwa yang terpenjara ini disejukkan oleh angin yang berhembus di lorong gelap

Aku pun terjaga dari kenyataan
Hangatnya tangan sang surya mengelus binatang yang dikurung ini
Membuat lupa tentang kekosongan penjara bernama kehidupan
Keegoisan hati tenggelam dalam alunan suara gunung

An Enemy Who Love You

Walking on the path that anybody would not cross
Becoming an outsider to know the inside more

As a friend, as a foe
May God blesses my path and forgive what may I have become

Being evil to be a good one
To love and to be loved
To hate but not to be hated

Thou despair and hapiness shall wait for me
Would I get the key?

The will to sacrifice as it is the will to love

Senin, 07 April 2014

Jan Patočka : Melawan Pragmatisme dan Apatisme Politik

oleh Chandra Saputra Purnama

Tingkah pola para pejabat di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Demi kekuasaan, para politisi melakukan pertunjkkan pragmatisme politik dengan berpindah partai atau membentuk kekuatan politik baru. Loyalitas pun tak lagi penting karena menjadi kutu loncat kini sudah lumrah.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebutkan, dari 560 anggota DPR, setidaknya 42,71% terindikasi terlibat korupsi. Persentase ini lebih tinggi dibandingkan periode lalu (Majalah Tempo edisi 7-13 Januari 2013).

Namun, bobroknya politik di Indonesia bukan hanya kesalahan para politisi saja. Sistem demokrasi mensyaratkan setiap warga mesti bersikap politis. Setiap orang tidak bisa hanya mengurusi hajat hidupnya sendiri. tetapi harus juga peduli pada kepentingan bersama. Masalahnya, di Indonesia, perilaku para politisi yang serakah membuat rakyat apatis, seperti yang ditunjukkan dengan tingginya persentase rakyat yang tidak menggunakan hak pilihnya pada beberapa pilkada di Indonesia. Ketidakpedulian inilah yang membuat Indonesia dipimpin oleh manusia-manusia yang tidak bermutu, bermental serakah, serta suka menyalahgunakan kekuasaan demi keuntungan pribadi.



Kesatuan sosial dalam kebebasan
Fenomena di atas menggambarkan kebobrokan bangsa ini. Padahal bangsa ini dibangun di atas dasar semangat untuk bersatu. Semangat tersebut sudah diusung jauh-jauh hari sebelum negara ini, sebagai kesatuan politis bangsa berdiri. Semangat ini didasari atas tekad, hasrat, dan kehendak bersama untuk merebut kemerdekaan. Kebulatan tekad untuk bersatu untuk membentuk sebuah bangsa yang merdeka, adil, dan beradab menjadi fakta paling mendasar dari kebangsaan Indonesia (Sindhunata, 2008 : 24). Sayang, dengan berlalunya waktu, ikatan bersama cenderung melemah.

Dulu, Soekarno mengusahakan persatuan dengan politik NASAKOM yang berusaha merangkum paham nasionalis, agamis, dan komunis. Namun, "perang saudara" justru terjadi. Orde baru, demi alasan persatuan, menggunakan cara-cara represif dan menafikan adanya keberagaman. Persatuan model inimengkhianati semangat awal pendirian Indonesia, yaitu bersatu untuk memerdekakan setiap manusia di Indonesia.
Rezim Orde Baru berakhir. Masalahnya, dengan hilangnya kekuatan represif yang menjadi otoritas sebuah kesatuan, Indonesia mengalami krisis ikatan sosial. Mulai dari para elite sampai rakyat, tenggelam dalam urusan masing-masing. Tidak ada lagi tekad dan komitmen bersama untuk mewujudkan sebuah bangsa seperti yang dicita-citakan dalam pembukaan UUD 45. Bagaimana kita mengusahakan kembali ikatan bersama itu?

Untuk itu, mari kita tengok pemikiran Jan Patočka yang waktu itu disampaikan untuk menanggapi krisis Eropa akibat Perang Dunia. Dalam buku Plato and Europe, Patočka melihat bagaimana Eropa menghancurkan dirinya sendiri. Negara-negara Eropa terpecah karena tidak ada satu hal pun yang dapat menyatukan mereka. Hal ini diperparah dengan kekuatan besar yang dimiliki akibat pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendorong mereka meluaskan diri.

Menurut Patočka, krisis Eropa ini tidak hanya sebatas perkara politik dan ekonomi, tapi terlebih, formasi jiwa-jiwa manusia Eropa yang dikuasai sifat individualisme dan rasio instrumental yang mengakibatkan orang-orang Eropa berpikiran sempit. Mereka bertindak hanya berdasarkan kepentingan pribadi tanpa menghiraukan ikatan hidup bersama.

Plato mengungkapkan, ada korelasi antara kualitas masyarakat dengan kualitas jiwa manusia yang membentuk suatu masyarakat dengan kualitas jiwa manusia yang membentuk suatu masyarakat. Pertanyaannya, bagaimana mengusahakan agar jiwa individu mampu mengenali kepentingan yang lebih besar dan tidak jatuh ke dalam egonya? Bagaimana mewujudkan manusia yang memiliki kebebasan dan tanggung jawab sosial yang baik?

Situasi khas pengalaman manusia
Dalam pemikiran Patočka, ada tiga unsur yang terlibat dalam sebuah pengalaman manusia, yaitu subjek yang mengalami, objek yang dialami, dan konteksnya. Objek yang dialami selalu ada dalam konteks tertentu. Hal tersebut membuat manusia tidak pernah mengalami objek pada dirinya sendiri. Objek yang sama bisa bermakna macam-macam tergantung konteksnya.
Sesungguhnya, manusia mempunyai cakrawala berpikir melampaui pengalaman yang sedang dihadapi. Manusia memiliki orientasi ke belakang, pada pengalaman dan pelajaran yang telah ia dapatkan, dan ke depan, pada berbagai kemungkinan. Karena itu, manusia mempunyai kemampuan untuk terus belajar memperbaiki pemahamannya mengenai berbagai hal. Kemampuan ini pula yang membuat manusia memiliki penilaian baik-buruk.

Patočka menyebut jiwa dalam diri manusia sebagai sebab dari kemampuan manusia di atas. Jiwa sebagai kemampuan untuk menangkap kebenaran. Jiwa (soul), bagi Patočka, bukanlah sebuah substansi. Dalam bahasa Indonesia dengan mudah kita bisa membedakan antara jiwa dan nyawa. Sementara yang pertama berkaitan dengan kualitas manusia sebagai manusia, yang kedua berkaitan sesuatu dalam diri manusia yang memungkinkannya hidup. Kemampuan untuk menangkap kebenaran adalah kemampuan jiwa untuk mengambil jarak dan melampui pengalaman terberi atau konteks di mana manusia berada (Kohak, 1989 : 117).

Dengan adanya jiwa, manusia memiliki potensi untuk hidup di dalam kebenaran dan menciptakan dunia yang dilandasi oleh nilai kebenaran dan keadilan. Namun, kemampuan ini tetap tinggal sebagai sebuah potensi. Buktinya, manusia selalu ada di dalam ketegangan antara menerima begitu saja apa yang terberi atau bersikap kritis untuk mencari kebenaran. Manusia bisa memilih untuk tenggelam dalam dunia material dan menerima begitu saja segala pemahaman yang sudah ada atau mengambil jarak terhadap pengalaman terberi dan membuka diri pada kemungkinan bahwa kebenaran tidak sesederhana tampak pertama kali (Findlay, 2002 : 60). Usaha untuk mengaktualisasikan potensi ini disebut Patočka sebagai upaya untuk merawat jiwa.

Perawatan jiwa
Inspirasi Patočka mengenai perawatan jiwa adalah Sokrates. Dalam Apology, Sokrates, di hadapan sidang berucap, "Semua hal yang aku lakukan adalah untuk meyakinkan kalian, tua dan muda, untuk tidak merawat tubuh kalian atau memedulikan kekayaan kalian dengan sangat dalam seperti yang seharusnya yang kalian berikan kepada kesejahteraan jiwa kalian yang sebesar mungkin; Aku katakan kepada kalian bahwa kebajikan tidak datang dari kekayaan; melainkan sebaliknya, dari kebajikanlah kekayaandan semua hal lain yang baik bagi manusia akan didapat baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan umum." (30a-b)

Sokrates menekankan, merawat jiwanya sendiri adalah tugas utama seorang manusia. Jiwa adalah diri manusia yang sebenarnya. Oleh karena itu, mengusahakan hal yang sebaik-baiknya bagi jiwa adalah hal yang terpenting bagi manusia. Sedangkan mengusahakan yang lain seperti kemuliaan atau ketenaran dan kekayaan adalah hal yang sekunder. Bagaimana manusia merawat jiwanya? "...bahwa kebajikan terbesar sesungguhnya dari kehidupan sesorang adalah apabila dia dapat bercakap-cakap setiap hari mengenai kebajikan dan mengenai hal lain yang kalian telah dengar aku diskusikan ketika aku menyelidiki diriku sendiri dan orang lain, dan bahwa suatu kehidupan yang tidak diteliti bukanlah kehidupan yang patut untuk dijalani oleh seorang manusia." (Apology, 38a)

Metode perawatan jiwa yang diajukan oleh Sokrates adalah dengan selalu bertanya mengenai kebajikan tertinggi. Mendiskusikan kebajikan berarti menguji kehidupan. Sokrates sadar, manusia tidak memiliki kebijaksanaan ilahi yang selalu hadir dalam kebajikan. Kebajikan manusia selalu diusahakan dalam hidup manusia sendiri, yaitu dengan selalu melakukan pengujian terhadap hidup dan pemahaman yang dimilikinya.
Bagi Patočka, genesis dari perawatan jiwa adalah kondisi yang bersifat kontradiksi dalam diri manusia. Manusia adalah makhluk yang sadar akan keterbatasannya sendiri dan akan mortalitasnya. Manusia juga sadar bahwa ia tidak akan pernah mengetahui segalanya. Pengetahuan atas keterbatasannya sendiri didapat karena manusia memiliki relasi dengan dunia sebagai keseluruhan. Relasi ini tidak pernah dapat diungkapkan dalam bentuk pengetahuan yang aktual atau objektif. Relasi ini pula yang membuat pemahaman manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh konteks di mana ia berada.

Berangkat dari kesadaran atas keterbatasan manusia, metode perawatan jiwa yang ditawarkan adalah sikap kritis terhadap apapun termasuk juga terhadap kepastian diri. Inilah yang dinamakan sebagai hidup dalam kebenaran. Tujuan Patočka bukanlah sikap yang semata-mata resisten terhadap setiap tatanan atau tradisi yang sudah ada tetapi untuk membentuk kesatuan jiwa. Dengan mempertanyakan kepastian diri, manusia berusaha untuk terus mencari kesatuan di atas berbagai fenomena partikular.
Upaya manusia merawat jiwanya sendiri akan menyingkapkan dua kemungkinan dasar yang dimiliki jiwa. Pertama, jiwa tenggelam dalam pluralitas opini. Kedua, jiwa reflektif mencari kesatuan ideal di atas pluralitas opini. (Patočka, 2002 : 93)

Jiwa yang tenggelam dalam pluralitas opini adalah jiwa begitu saja membiarkan dirinya dibentuk oleh konteks di mana ia berada. Orang yang memiliki jiwa dalam taraf ini akan bersikap pasif atau menelan begitu saja pandangan umum. Ia juga membiarkan nafsu mengendalikan dirinya. Kasus korupsi di Indonesia terjadi karena pejabat di Indonesian mengamini pandangan umum yang mengatakan uang adalah hal yang paling penting di dunia ini. Mereka tidak mampu mengekang hasrat untuk memperkaya diri. Pada saat mereka mendapati pejabat lain menilep uang negara dan menjadi kaya, mereka malah meniru perbuatan itu. jadilah korupsi menjamur di Indonesia.

Jiwa reflektif yang selalu mencari kesatuan ideal tidaklah demikian. Manusia yang memiliki jiwa ini mampu bersikap kritis terhadap opini umum sehingga tindakannya tidak semata ditentukan oleh sesuatu di luar dirinya. Ia pun mampu melihat lebih luas karena ia tidak hanya terkungkung oleh kepentingan dirinya sendiri. Ia sadar bahwa ia adalah bagian dari masyarakat dan karena itu ia juga harus mengupayakan kebaikan umum untuk membahagiakan dirinya.

Manusia perlu merawat jiwanya, karena ia bukan sekadar hewan rasional. Manusia memiliki karakteristik mendasar, yaitu jiwanya. Jiwa atau kemampuan manusia untuk melampaui materialitas adalah sebuah potensi yang harus dipenuhi. Dengan demikian, menjadi manusia adalah sebuah tugas. Manusia yang tidak merawat jiwanya adalah manusia yang mengabaikan tugas utamanya. Patočka, dalam Piagam 77 mengungkapkan, "Manusia tidak menciptakan moralitas semaunya untuk memenuhi kebutuhan, keinginan, kecenderungan, dan aspirasi mereka. Justru sebaliknya, moralitaslah yang mendefinisikan apa artinya menjadi manusia. " (Kohak, 1989 : 341)

Manifestasi perawatan jiwa
Patočka mengidentifikasi, tiga gerakan perawatan jiwa dalam pemikiran Platon : (1) perawatan jiwa ontokosmologis (the ontocosmological), (2) perawatan jiwa dalam sebuah komunitas sebagai konflik dari dua cara hidup, (3) perawatan jiwa menyangkut kehidupan batin dan relasi antara tubuh dan incorporeality, serta persoalan kematian dan imortalitas (Patočka, 2002 : 97).

Perawatan jiwa ontokosmologis berangkat dari pemahaman tentang hubungan manusia dengan seluruh isi alam semesta. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat berfilsafat dan padanya dunia menampakkan diri. Dunia yang hadir dalam keharmonisannya menjadi objek refleksi manusia untuk meraih keharmonisan baik di dalam dirinya maupun dengan yang lain.

Perawatan jiwa sebagai proyek ontokosmologis merujuk pada doktrin-doktrin tak tertulis Platon dan ajaran Platon mengenai idea. Idea dimengerti sebagai yang bersifat umum dan merupakan ketunggalan, atau dalam bahasa Platon sebagai yang tunggal di atas yang banyak. Idea dimengerti sebagai sesuatu yang memberikan kejelasan bagi manusia dalam melihat benda-benda. Meski demikian, idea memiliki cara mengada yang berbeda dengan dunia kita di sini. Untunglah manusia memiliki jiwa yang menghubungkan manusia dengan idea. Karena konsep idea inilah, benda pada dirinya sendiri mempunyai struktur yang berbeda dengan benda sebagaimana yang tampak oleh manusia. Penampakan suatu benda selalu lebih banyak daripada benda pada dirinya sendiri. Karena itulah idea disebut sebagai yang tunggal di atas yang banyak.

Karena satu-satunya yang kita tahu adalah apa yang tampak dari eksistensi benda, maka eksistensi benda pada dirinya sendiri tidak pernah kita ketahui. Kita tidak pernah tahu eksitensi ketunggalannya. Dengan demikian eksistensi pada dirinya selalu menjadi problem bagi kita. Menerima bahwa being sebagai problem menuntut kita untuk selalu kritis karena sikap kritis berarti membuka diri pada eksistensi yang ada di balik penampakkan tersebut. Dengan kata lain, perawatan jiwa ontokosmologis yang banyak, meski yang satu ini hanya dapat terus didekati tanpa pernah dapat didefinisikan secara tuntas.

Gerakan kedua berkaitan dengan tanggung jawab manusia yang lahir bersama filsafat atau relasi antara filsuf dengan masyarakat. Dalam ranah sosial, ada dua jalan merawat jiwa.

Pertama, sebagaimana diajarkan Demokritos, ajaran perawatan jiwa adalah usaha untuk meraih pengetahuan mengenai dunia sebagai keseluruhan dan struktur yang dimilikinya. Manusia hanya mampu sampai ke sana jika ia membaktikan seluruh hidupnya untuk usaha tersebut. Dengan demikian, perawatan jiwa, perawatan jiwa menuntut manusia melepaskan diri dari ikatan keluarga dan komunitas dan semata-mata membaktikan diri untuk meraih pengetahuan yang sebenar mungkin. Perawatan jiwa Demokritian ini bersifat subjektif karena merupakan usaha pribadi yang terlepas dari lingkungan sosial (Patočka, 2002 : 81).

Kedua, sebagaimana pemikiran Platon, perawatan jiwa menekankan pentingnya polis atau masyarakat. Manusia hanya bisa mencapai kepenuhannya jika ia hidup dalam sebuah masyarakat. Jalan inilah yang disetujui Patočka. Meskipun filsafat bagi manusia merupakan penemuan akan kebebasan namun secara paradoks filsafat membawa sebuah tanggung jawab. Berfilsafat berarti membuka diri terhadap persoalan serta membawa diri pada percakapan terus-menerus tentang bagaimana manusia seharusnya hidup.

Agar perawatan ini tercapai, polis harus merupakan komunitas rasional, yaitu komunitas yang memiliki otoritas sekaligus mengakui kebebasan warganya. Untuk menjadi komunitas yang rasional diperlukan keseimbangan yang menuntut usaha pendisplinan hasrat. Hasrat dalam diri manusia bisa berkembang sampai tak terhingga dan akan mengganggu keseimbangan dalam masyarakat.

Keseimbangan diperlukan bukan hanya di dalam polis tetapi juga antarpolis. Sebuah polis atau negara yang berkembang sedemikian jauh justru akan mengakibatkan terganggunya keseimbangan dan mengakibatkan kehancuran negara tersebut. Kehancuran tersebut diakibatkan oleh benturan dengan negara lain; inilah yang terjadi di Eropa yang mengakibatkan Perang Dunia. Jadi, sebuah negara yang rasional adalah negara yang tahu batas dan mampu membatasi dirinya sehingga keseimbangan tetap terjaga.

Dalam sebuah komunitas rasional, kualitas manusia yang menjadi anggotanya adalah hal yang menentukan. Pada tingkat individu, kemampuan mendisiplinkan diri dan membatasi hasrat pada jiwa. Dengan demikian ada keterkaitan antara kondisi negara dengan kondisi jiwa anggota komunitas tersebut. Sebuah negara yang dekaden menunjukkan kualitas jiwa warganya yang tak terawat, dan juga sebaliknya. Jadi, persoalan jiwa dan perawatan jiwa merupakan permasalahan utama untuk membangun sebuah komunitas rasional.

Adalah tugas seorang filsuf memperjuangkan masyarakat yang rasional, yaitu masyarakat yang mendasarkan diri pada "kebenaran dan otoritas filosofis" yang diraih melalui usaha merawat jiwa. Dalam masyarakat seperti ini, merawat jiwa menjadi sikap hidup bersama sehingga orang seperti Sokrates tidak perlu menjadi martir.

Gerakan ketiga, refleksi manusia terhadap mortalitasnya membawa manusia berelasi dengan keabadian. Jiwa, sebagai daya aktif sekaligus pasif, membuat manusia mempunyai kekuatan untuk melawan keterikatannya pada hal-hal material. Ia tahu hal-hal material memiliki sifat dapat berubah dan membusuk. Dalam berelasi dengan dirinya sendiri, jiwa sampai pada hakikatnya sebagai ia yang menggerakkan dirinya sendiri sekaligus dengannya membebaskan diri dari keterikatan terhadap hal-hal material. Dengan demikian, dalam relasi jiwa dengan dirinya sendiri, jiwa menemukan keabadian.

Keabadian, dengan demikian diartikan sebagai usaha untuk membebaskan diri atau melawan gerak pembusukan dan penurunan dunia material. Dalam sebuah masyarakat yang dekaden, manusia menemukan keabadiannya dengan jalan melawan gerak kemerosotan yang dialami masyarakatnya. Hal tersebut hanya dapat dilakukan jika ia mampu mengambil jarak dari lingkungannya dan melakukan kritik terhadap segala ketidakberesan dalam masyarakat.

Tiga arah merawat jiwa di atas sebenarnya menjadi akar peradaban Eropa. Akan tetapi, perkembangan sains dan teknologi yang pesat sejak abad ke-19 membawa Eropa ke arah lain. Filsafat sebagai perawatan jiwa yang mulanya menjadi dasar peradaban, digantikan sains dan teknologi. Padahal, sains dan teknologi memiliki karakter yang berbeda dengan filsafat. Bila filsafat mengusahakan transformasi internal dalam diri manusia atau kualitatif, sains dan teknologi, sebaliknya, membawa pada perkembangan kuantitatif, yang membuka kemungkinan perkembangan yang tak terbatas yang berujung pada hilangnya keseimbangan dalam kehidupan bersama.

Perawatan jiwa dan pendidikan
Manusia yang merawat jiwanya adalah pribadi yang memiliki kualitas untuk membangun keutuhan dan kekuatan bangsa. Terkait dengan bangsa Indonesia, pertama, kita memerlukan pribadi yang mampu menangkap yang ika di balik kebhinekaan. Hal ini sangat penting mengingat masyarakat Indonesia sangat beragam. Dengan demikian bisa menegaskan identitas keindonesiaan di atas identitas lain yang lebih parsial untuk meminimalkan konflik horizontal.

Kedua, pribadi yang memiliki kesadaran bahwa individu merupakan bagian dari masyarakat. Kesadaran ini mendorong tiap individu untuk peduli pada kepentingan bersama.

Ketiga, pribadi yang mampu mendisiplinkan umat hasrat yang bersifat plural dan dapat berkembang tanpa batas. Merawat jiwa berarti tahu membatasi diri. Usaha orang untuk memperkaya diri dengan berbagai cara yang marak di negeri ini merupakan tanda sebagian rakyat Indonesia tidak mampu mendisplinkan hasratnya. Sebaliknya, orang yang mampu mengendalikan hasratnya akan mampu menangkap apa yang terbaik bagi dirinya secara keseluruhan dan mengarahkan dirinya pada hal tersebut.

Keempat, pribadi yang mampu berpikir bebas dan bersikap kritis. Kemampuan ini sangat penting untuk membangun kemandirian dan mendorong kemajuan bangsa. Jiwa dengan kualitas-kualitas inilah yang menjadi otoritas internal bagi persatuan nasional.

Tentu saja perawatan jiwa tidak bisa dianggap sebagai kiat praktis yang begitu diimplementasikan langsung terlihat hasilnya. Perawatan jiwa merupakan solusi yang bersifat menyeluruh dan mendasar. Perawatan jiwa berfungsi untuk memperkuat manusia dari dalam dirinya sehingga berani dan mampu menghadapi masalah.

Perawatan jiwa berkaitan erat dengan pendidikan. Pendidikan merupakan jalan untuk mendorong masyarakat merawat jiwanya. Kualitas pendidikan dari tingkat paling dasar sampai pendidikan tinggi menjadi kunci untuk memperkuat masyarakat. Platon mengungkapkan pendidikan adalah cara mengarahkan anak-anak kita untuk mencintai hal yang benar. Ini berbeda dengan pendapat umum bahwa pendidikan adalah upaya untuk membekali murid dengan berbagai pengetahuan untuk hidup di kemudian hari. Mendidik pada pokoknya adalah memberi orientasi yang benar pada peserta didik. Tentu hal tersebut tidak berarti bahwa pengetahuan dan keterampilan menjadi tidak penting.

Pendidikan memiliki tiga fungsi. Pertama, membantu peserta didik mengenali dan beradaptasi dengan lingkungannya. Kedua, melatih atau memberi berbagai keterampilan pada peserta didik agar dapat bekerja dan mencukupi hidupnya.. Ketiga, membuat peserta didik mencintai kebenaran dan memiliki pikiran yang bebas. Hanya dengan hal tersebut ia akan memiliki cakrawala berpikir yang luas dan tidak dibutakan oleh kepentingan-kepentingan parsial sehingga mampu melihat berbagai hal dengan lebih jelas sehingga mempunyai kepedulian terhadap kepentingan bersama.

Namun, pendidikan tidak harus selalu formal.Sokrates, misalnya, mengajak diskusi orang-orang di tempat-tempat keramaian tentang hal merawat jiwa dan berbagai macam keutamaan. Dan Patočka, meskipun telah dilarang mengajar secara resmi di kampus karena kritiknya yang pedas terhadap kebijakan kampus, tetap aktif mengajar. Secara sukarela, Patočka mengajar dari satu apartemen ke apartemen lainnya bagi orang-orang yang bersedia.

Maka, Sokrates dan Patočka mengajarkan pada kita bahwa pendidikan adalah hal yang terpenting untuk membangun masyarakat yang baik. Karena itu, pendidikan harus diusahakan seoptimal mungkin. Untuk itu, kita tidak boleh hanya bergantung pada pemerintah melalui departemen pendidikannya yang belum tentu tahu konsep pendidikan yang sebenarnya.

Jimmy Carter pernah berujar, "America is free not because it is rich and powerful, but it is rich and powerful because it is free". Diktum ini kiranya juga berlaku bagi negara kita. Negara kita dapat merdeka secara politik karena mempunyai semangat untuk bersatu. Namun yang jauh lebih penting adalah fakta bahwa di balik itu semua ada pemuda-pemuda yang sudah memiliki jiwa-jiwa merdeka sehingga mampu melepaskan diri dari ikatan kesukuan dan bersatu membentuk sebuah ikatan nasional. Jiwa yang merdeka membuat mereka memiliki cakrawala berpikir yang luas sehingga mampu melihat kepentingan yang lebih besar. Hal inilah yang semestinya diusahakan dalam pendidikan bangsa ini, formal maupun informal.


dikutip dari majalah BASIS Nomor 07-08, Tahun Ke-62, 2013

Senin, 24 Februari 2014

KADERISASI : Pencerdasan, Alat Pemersatu, atau Perploncoan?

Sebagai mahasiswa tingkat akhir, saya pernah menjalani berbagai tingkatan kaderisasi di kampus saya. Awal mula saya masuk kuliah, saya menjalani kaderisasi tingkat 1. Lalu ketika saya berada di tahun kedua, saya menjalani kaderisasi tingkat 2. Seterusnya pun begitu. Saya pun pernah menjabat sebagai ketua acara kaderisasi.
Sebenarnya apa arti kaderisasi itu sendiri? Apa tujuan kaderisasi? Mengapa harus ada kaderisasi? Mengapa perlakuan yang diberikan kepada peserta kaderisasi harus seperti itu?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, "kaderisasi" berasal dari kata "kader". Kata "kader" yang memiliki makna yaitu,"orang yang diharapkan akan memegang peran yang penting dalam sebuah organisasi". Dengan demikian , kaderisasi adalah suatu proses dalam membentuk kader-kader baru dalam sebuat organisasi tersebut. Dari definisi di atas, terjawab pula mengapa kaderisasi harus ada. Tujuannya yaitu untuk mempertahankan eksistensi organisasi itu sendiri. Eksistensi ini bukan berarti kepopularitasan, tetapi keberadaan nilai dan cita-cita yang diinginkan untuk terwujud melalui organisasi tersebut sebagai pelaksananya.
Apabila tidak ada kaderisasi, maka tidak akan ada orang yang melanjutkan cita-cita yang ingin dicapai oleh para pendahulu organisasi tersebut. Negara ini tetap ada karena adanya orang-orang yang mempertahankan dan melanjutkan cita-cita besar yang dirintis oleh pendahulu-pendahulu bangsa. Orang-orang yang menginginkan agar rakyat Indonesia beradab, bersatu dan sejahtera dibawah pemerintahan yang adil, mufakat, dan berdasarkan norma-norma yang berlaku dalam sistem masyarakat tersebut.

Kembali lagi kepada kaderisasi. Isi kaderisasi adalah proses pencetakan orang-orang yang siap melanjutkan suatu cita-cita. Meskipun demikian, banyak opini lain tentang kaderisasi. Di kampus saya yang katanya kental dengan "kaderisasi", banyak pemikiran yang memiliki banyak versi dari berbagai sudut pandang tentang bagaimana seharusnya suatu kaderisasi itu. Dari satu sudut pandang, ada yang berkata bahwa kaderisasi itu adalah pencerdasan, namun bagaimana dengan pesimisme bahwa kaderisasi itu adalah cuci otak. Sungguh ironis, orang yang dikader untuk siap melanjutkan cita-cita yang dititipkan oleh para "pengajarnya" dianggap tercerdaskan (menjadi cerdas; pintar; sadar) namun di sisi lain ada yang menganggap sebagai suatu pembodohan karena dianggap sebagai cuci otak. Memang, benar dan salah itu relatif, tergantung melihat dari sisi mana. Namun, bukan kaderisasi yang harus dipersalahkan, tapi nilai dan cita-cita itu sendiri yang dapat dianggap tidak relevan bagi orang lain. Misalkan teroris yang berusaha melebarkan sayap operasinya. Cita-cita yang dibawa adalah membuat dunia lebih baik dari segi tertentu, tapi untuk orang lain, ide tersebut sangat jauh dari dunia ideal yang mereka bayangkan. Yang satu menganggap dirinya pintar, yang satu menganggap orang pintar tadi adalah bodoh.

Ada yang berkata juga bahwa kaderisasi adalah alat pemersatu. Lalu apabila sudah bersatu, apa? Mengapa harus bersatu? Memangnya sendiri tidak bisa? Manja atau tidak mampu? Memang, bersatu dari sekian banyak elemen, membuat cluster elemen yang baru ini memiliki karakter dan kapasitas yang lebih dibanding elemen tunggal, tapi tetap ada karakteristik tunggal dan karakteristik komunal. Dengan demikian, tunggal atau komunal harus dikembalikan pada kebutuhan masing-masing. 

Ada yang berkata bahwa kaderisasi adalah perploncoan. Hal ini dapat ditinjau dari metode yang digunakan. Mengapa harus memakai metode yang radikal? Apakah dengan metode yang elbih sederhana dan mudah, nilai dan cita-cita yang ingin dicapai dapat tersampaikan pada para kader?

Lalu apa hubungannya dengan peran mahasiswa? 

Orang sering berkata, "buat apa mikirin bangsa, mahasiswa, dll? Masih banyak urusan lain yang lebih penting". Menurut saya ada benarnya juga. Buat apa memikirkan orang-orang egois yang cuma berwacana dan memberikan harapan palsu untuk mencintai sesamanya. Tapi lantas apakah kita harus pergi dan tidak melakukan apapun? Negara ini ada dengan kita dan orang Indonesia lainnya sebagai komponennya. Negara ini bukan perusahaan layanan jasa yang harus memberikan fasilitas dan pelayanan terbaiknya kepada konsumennya dan menerima komplain atas pelayananan yang kurang maksimal. Negara ini adalah adalah perwujudan dari persatuan bangsa ini. Orang yang terus tidak puas tanpa memberikan solusi yang memadai adalah sampah. Setiap orang memiliki hak dan kewajiban masing-masing. Itulah yang harus diwujudkan dalam kehidupan berbangsa sehingga munculah perwujudan kehidupan berbangsa yang ideal dan akhirnya akan ada negara yang kuat dan maju sebagai implikasi dari bangsa yang ideal tadi.
Berikan apa yang dapat kau berikan, namun mintalah apa yang menjadi hakmu.

Tulisan ini jauh dari sempurna, namun saya hanya ingin menuliskan apa yang ingin saya tulis. CMIIW. Maaf apabila saya masih belum "cerdas".


Rabu, 28 November 2012

Benci Bilang Cinta

Hmm, satu malam, dua post...
Kepala gw banyak banget pikiran, bahkan belajar Fismat ga ngedong.

I don't love you, liked i loved yesterday...

Sepertinya itu yang sedang terjadi. Parah banget ya gw, langsung klaim...hahaha

I hate to lie...

Dan lebih parahnya lagi, gw malah demen ama yang lain. I know, i'm a jerk. Tapi, mungkin ini sesaat. Keadaan gw saat ini adalah butuh amat sangat afeksi. I don't know, but it blows my mind.
Somehow, she's still in a relationship. Dengan pengalaman dan kemampuan yang gw miliki, apakah gw akan dan mampu menikung? Wets, hahaha, gw ga sebangsat itu. Gw cuma bisa menikmati apa yang sekarang ada aja. Kalau kata seorang sahabat gw, itu namanya "Guilty Pleasure". Gw juga ga bkal senekat itu. Banyak halangan. Banyak hambatan. Disini artian bukan karena gw cupu, tapi hambatan disini adalah gw harus melawan realita. Realita dimana dia uda punya orang. Realita dimana kita beda ras dan agama. Realita dimana sebenarnya gw juga masih punya seorang yang lain. Hahaha, ini cuma sekedar sharing, jangan dibenar-benar dimasukkan ke otak dan hati kalian.