Sabtu, 21 Juni 2014

Refleksi Hari Proklamasi

oleh : Jakob Oetama

"Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah pada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesianke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur."

Itulah alinea kedua Pembukaan atau Preambul Undang-Undang Dasar 1945. Bacalah preambul itu selanjutnya sampai lengkap. Luar biasa isinya dan sangat historis. Artinya penuh makna dan keramat!

Teramanatkan, berkat rahmat Allah, didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berperikehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Maka, dibentuk suatu pemerintahan yang melindungi segenap bangsa Indonesia, seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia.

Kemerdekaan dan kebangsaan Indonesia itu disusun dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Deklarasi kemerdekaan dan Pembukaan UUD 1945 kemudian terurai dalam pasal-pasal dalam konstitusi. Di antaranya perihal kesejahteraan sosial yang dirumuskan dalam Pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi : (1) "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan, (2) Cabang-cabang produksi penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". Satu pasal lagi kita kutip dalam Pasal 34 UUD 1945, "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara negara".

Tanggal 17 Agustus 2010 adalah hari Proklamasi Kemerdekaan Ke-65. Terasa ada suasana lain yang kita alami tatkala kita membaca kembali naskah Pembukaan UUD serta uraiannya dalam beberapa pasal konstitusi tersebut. Ada perasaan terharu, bergetar, bersyukur, ataupun menggugat.

Falsafah kenegaraan dan kemasyarakatan karya para pendiri bangsa dan negara kita itu amatalah bersejarah dan historis. Bersejarah sebagai peristiwa dan bersejarah pula dalam maknanya. Bagi kita makna itu sekaligus ide besar, cita-cita agung dengan tujuan yang riil. Ada ungkapan dalam bahasa Perancis, ide dan cita-cita besar lagi bersejarah semacam itu merupakan, l' idee pousse a l acte. Ide dan cita-cita besar yang harus diwujudkan dalam kenyataan.

Dan memang benar, itulah yang kita pahami serta kita rasakan dewasa ini. Getaran, keharuan, dan refleksi ide besar dengan kenyataannya, berbagai persoalan yang kita hadapi dan kenyataan sehari-hari. Kenyataan yang menyangkut realisasi dari cita-cita mulia, tujuan kemerdekaan, serta sikap dan penghayatan pengorbanan pada pemimpin serta pejuang kemerdekaan.

Pendekatan kita tentunya bukan saling menyalahkan dan lempar tanggung jawab. Kita dengan sikap kritis-konstruktif mengakui kekurangan, kealpaan, serta kelemahan kita pada posisi masing-masing serta pada posisi bersama, yakni mewujudkan amanah serta tujuan Indonesia merdeka. Terutama dalam konteksnya yang mendesak, yakni kemakmuran rakyat dalam kerangka keadilan sosial serta kemajuan bangsa dan negara dalam konteks regional, global, dan mondial.

Kita bersama dihadapkan pada berbagai masalah, kekurangan, dan tantangan. Di antaranya yang strategis dan mencolok adalah kultur kekuasaan yang tidak bersih, apalagi asketis, seperti contoh teladan para pendiri dan pejuang bangsa. Totalitas kita dalam bekerja untuk mengabdi bangsa terasa mulai mengendur. Berdasarkan laporan serta studi lapangan, kita justru masih tetap berkubang dalam kecenderungan dari praktik penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan alias korupsi!

Pengawasan hukum dan budaya demokrasi politik kita belum berhasil menghapuskan budaya feodal kita dari kekuasaan. Praktik itu diantaranya menurut penelitian dan pemantauan berbagai pemantau korupsi Indonesia, termasuk Indonesia Corruption Watch, praktis korupsi justru makin meluas ke daerah-daerah. Komitmen dari pimpinan nasional memberantas korupsi pada masa kampanye ternyata masih belum mampu menciptakan sebuah Indonesia yang bersih. Korupsi adalah perang yang belum berhasil kita menangi. Banyaknya uang negara yang dikorupsi jelas akan menghambat kerja kita membangun bangsa dan mewujudkan keadilan sosial.

Pada sisi lain, pemahaman dan praksis demokrasi kita baru sampai pada tahap bentuk, praktik, dan sistemnya yang formal. Demokrasi baru pada tahap prosedural, belumlah substansial. Nilai demokrasi masih harus dikembangkan dalam sikap dan pengalaman. Esensi makna demokrasi harus dipahami dan dipraktikkan dalam praksis kehidupan sehari-hari. Ada dimensi dan tuntutan pengorbanan bagi kepentingan rakyat banyak di sana.

Jumlah warga miskin versi Indonesia tercatat sebanyak 21 juta orang, suburnya praktik penyalahgunaan kekuasaan mengusik, masih adanya pengangguran atas kebebasan konstitusional, menggugah kenikmatan kita merayakan ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan ke-65. Itulah tantangan kita bersama. Itulah tanggung jawab kita bersama. Itulah komitmen kita bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar